Akhir-akhir ini timeline Facebook saya (sayangnya) diramaikan dengan berita kematian seseorang.
Ngomong-ngomong soal kematian, saya jadi pengen cerita tentang budaya pemakaman Indo dan Amrik.
Yang jelas saya paling canggung yang namanya menghadiri pemakaman
baik itu pas shalat jenazah, atau pelayanan di gereja, maupun saat di kuburan.
Canggung karena ya suasana pemakaman itu sendiri kan berarti ada orang yang meninggal ya? Secara umum mana ada gitu orang yang gembira menghadiri pemakaman?
Yang membuat bertambah canggung itu adalah interaksi dengan tamu-tamu lainnya.
Pemakaman seseorang adalah satu peristiwa ‘penting’ (sekali seumur hidup – harfiah!), dimana rekan-rekan, sanak saudara, teman-teman yang sudah sekian lama tidak bertemu, tiba-tiba berkumpul lagi untuk menghantarkan si jenazah ke perhentian abadinya, untuk ‘bertemu’ terakhir kalinya.
Nah…adegan bertemu teman-teman ataupun saudara-saudara yang sudah lama tidak berjumpa tentunya adalah ‘adegan’ yang membahagiakan! Ibaratnya reuni lah. Kalau dengar kata reuni kan , seru ya?
Tapi koq…reuni di acara pemakaman yang notabene peristiwa kurang mengenakkan.
Disitulah letak kecanggungan saya, mau bahagia melihat teman-teman/saudara-saudara yang sudah sekian lama tidak berjumpa atau sedih karena melihat keluarga yang ditinggalkan? 😦
Yang ada saya bawaannya mau cepat-cepat pulang, karena ya itu canggung.
Sejak hijrah ke Amrik, saya 2 kali menghadiri pemakaman, yang pertama di tahun 2010, saat adik suami meninggal dan yang kedua di tahun 2016 saat tante suami meninggal dunia.
Terus terang suasana pemakaman ala Amrik vs ala Indo beda banget.
Di Amrik itu boleh dibilang tabu memotret sana sini. Jangankan motret jenazah, motret tamu, memotret peti mati, taman pemakaman pun enggak! (jangan bandingin dengan film-film Hollywood yak! ini pemakaman rakyat biasa)
Inget banget waktu kami ke Minnesota untuk mengurus pemakaman adik suami, saya yang masih kebawa budaya Indo bawa kamera dong.
Pas mau motret, bareng keluarga adik suami yang lainnya saya sempat bingung koq mereka tidak ‘semangat’ ya? tapi ‘dongonya’ saya, saya tidak ngeh, jadi saya teuteup foto-foto sendiri.
Pas di gereja, saya bawa tuh kamera, pikir saya mau jadi seksi dokumentasi. Mau motret jenazah di peti, eh yang ada suami melotot, hah? saya tanya, Lha kamu gak mau foto adikmu terakhir kalinya? NO. Jawabnya. Bingung.
Masih saya gatel mau motret memorabilia yang dipasang, dipelototin lagi. Pas ceramah dari pendeta selesai, ada pemain bagpipe ala Irlandia menghantarkan tamu-tamu keluar, saya dah keder tidak berani merekam dengan kamera. Padahal bagus banget prosesinya.
Selesai dari gereja, kami pergi ke rumah salah satu keluarga – boleh dibilang rumah duka lah, disitu disediakan jamuan kecil untuk tamu-temu setelah pemakaman. Di situ ya pada ngobrol sih, cuma ngobrolnya santun sekali, suasana berkabung terasa banget.
Sekali lagi, tidak ada foto-fotoan!
Di hari penguburan, saya masih ngotot bawa kamera, tadinya mau ngerekam dari A sampai Z gitu….lagi-lagi tidak dibolehin sama suami. Jadilah saya ngedumel, tapi ya apa boleh buat, harus hormati permintaan suamilah, wong ini keluarga dia gitu kan.
Kedua kali acara pemakaman saya wis fasih, tidak bawa kamera sama sekali. Tapi saya perhatikan apakah budaya tidak memotret memang budaya barat atau bawaan suami. Tidak ada yang bawa kamera. (bawa telpon seluler berkamera ya hampir semua tamu, tapi tidak ada yang sibuk motret sana sini)
Waktu saya bilang ke suami kalau di budaya Indo, sudah biasa kita memotret si jenazah (dan memajang di media sosial!!), suami saya dengernya ibarat denger ada zombie jalan-jalan di mal.
Why? why would you want to take picture of the dead??? tanya nya.
Saya jawab sambil kebingungan juga…Well, now that I thought about it, I am not sure. I guess we just want to capture the last image of the dead?
Is that weird?
Ha. Disini saya terbelah.
Di satu sisi, saya akui kalau budaya Indo ‘eksentrik’ dalam hal kematian, selain memotret jenazah, kita juga senang foto-foto (dan tidak jarang sambil cengengesan pula)- which you would never find in most American funerals in general.
Di sisi lain, kalau budaya Indo tidak ada potret memotret jenazah, kuburan dan lain-lain, saya tidak akan punya dokumentasi disaat ayah saya dikuburkan – yang buat saya adalah hal yang penting, karena saya tidak bisa menghadiri langsung prosesi pemakaman ayah (dan saudara-saudara ataupun rekan-rekan lainnya yang telah mendahului saya).
*menghela nafas* (nasib imgran pas-pasan)
Ah.
Sepertinya untuk hal ini saya adaptasi kedua budaya, budaya Indo dalam hal dokumentasi dan budaya Amrik dalam hal pembawaan diri.
Ashes to Ashes, Dust to Dust