beda dunia

Arti Tinggal di Amerika Buat Saya

Saya harus bisa berbahasa Inggris lebih baik.

Untuk saya pernyataan diatas itu mutlak. Sebagai imigran, saya ngeh konsekuensi berimigrasi ke negara yang tidak berbahasa ibu saya, artinya saya harus belajar bahasa lokal di negara yang akan saya tinggal.

Untungnya saya cuma berimigrasi ke Amerika dimana bahasa mayoritas yang digunakan adalah bahasa Inggris. Kalau saya berimigrasi ke Jepang, atau ke Jerman atau ke Finlandia misalnya, kemungkinan besar saya akan nangis darah, karena harus belajar bahasa baru dari nol.

Saya memang sudah belajar bahasa Inggris dari mulai SMP – SMP negeri – dan ortu memasukkan saya ke kursus bahasa Inggris LIA – meskipun saya waktu itu belum cukup umur (masih SMP dan persyaratan masuk LIA jama itu, harus SMA), tapi saya ‘pura-pura bego’ ngaku anak SMA. Saya juga kerja di perusahaan yang bosnya orang Amrik, klien-klien juga banyak yang bule.

Jadi kemampuan bahasa Inggris saya tidak apa adanya.

Kenapa gitu saya merasa harus memperbaiki berbahasa Inggris saya setelah di Amrik?

Di sini ada stereotipe kalo imigran itu bloon, tidak bisa berbahasa Inggris, tidak punya kemampuan kerja , dan kelakuannya seperti parasit.

Saya mau mematahkan stereotipe itu.  Tidak rela deh di remehkan orang cuma karena saya imigran dan bahasa ibu saya bukan bahasa Inggris.

Lagipula menurut saya memang sudah adabnya lah kalau kita tinggal di negara lain, kita harus belajar budaya lokal.

Tul tidak?

Secara pribadi saya juga malu kalau kalimat bahasa Inggris saya cuma terbatas :

  • I love you
  • I love my husband
  • I have the best husband
  • I miss my husband
  • Honey
  • You are the best
  • dan kalimat-kalimat lain yang agak-agak mirip

Lagian kan, kita berinteraksi bukan cuma sama suami kita saja…

Jadi yuk…kalau mau tinggal di Amrik, belajarlah bahasa Inggris!

 

MUDIK 2015: KONTEMPLASI

Hampir sebulan yang lalu saya berangkat mudik ke Jakarta, Indonesia.  Saat ini saya sudah bebas jetlag dan sudah kembali ke rutinitas sehari-hari.

Seraya saya menelurusi angka-angka di rekening bank saya, menelaah bon-bon pembelian ini dan itu, saya mau tidak mau jadi berkontemplasi akan mudik saya kemarin.

Kalau dipikir-pikir saya itu ‘bodoh’ sekali ya, beranggapan kalau anggaran $3,000 itu akan cukup untuk mudik selama 14 hari, mungkin kalau murni $3,000 tanpa termasuk pembelian tiket pesawat, ya cukup-cukup saja. Anggaran $3,000 saya itu termasuk $1,700 tiket pesawat dan $300 sewa apartemen. Jadi notabene anggaran saya itu ya cuma $1,000.

Pikir saya, kalau tho saya harus keluarkan uang lebih dari anggaran, saya bisa gunakan kartu kredit, eh ternyata kartu kredit andalan saya, American Express, jarang di terima di Jakarta. Jadilah saya harus gunakan kartu debit yang lebih terbatas uangnya. Bolak balik minta ke suami untuk transfer uang tambahan, untung suami baik hati, dan Alhamdulillah kita masih ada sedikit uang dari penghasilan dia.

Untungnya juga saya dikaruniai teman-teman yang amat sangat murah hati yang tidak henti-hentinya mentraktir saya saat kita ketemuan.

Tapi masa’ ya saya jadinya tergantung sama kebaikan hati teman-teman – ya tidak bisa dong??!!

Selain bodoh dalam anggaran, banyak lagi kebodohan-kebodohan saya di mudik ini.

Saya bodoh tentang mahalnya Jakarta -meskipun saya sudah diperingati oleh teman-teman tentang itu, saya ‘pura-pura’ bego dan nekat tetap pulang.

Saya merasa bodoh mengasumsi orang-orang tidak akan mengusili keputusan-keputusan saya untuk mudik ini

Saya juga terlalu naive beranggapan kalau semua orang akan mengerti prioritas saya di mudik ini.

Sepertinya saya harus realis, saya tidak bisa mudik dengan anggaran terbatas lagi, Saya tidak boleh paksakan diri untuk mudik seperti yang saya lakukan tahun ini, saya tidak bisa lagi segitu ‘naive’nya berfikir ‘yang penting saya pulang dulu, masalah pengeluaran dipikir nanti’.  Saya tidak mau membebani teman-teman, malu rasanya koq setiap kali ketemu ditraktir.

Bersyukurlah teman-teman Indonesia yang tinggal di Amerika dan bisa mudik setiap tahun dengan anggaran lebih dari cukup. Jujur, betapa irinya saya dengan teman-teman semua.

Tapi iri tidak membuat keadaan lebih baik tho?

Jadi lebih baik ya saya legowo saja. Keinginan mudik akan saya simpan dulu untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

004425b3a792c69eebb0d9c0dd83412c

Suka Duka Di Amrik : Pekerja Jam-Jam-an

Baru setelah berimigrasi ke Amerika, saya mengenal istilah pekerja jam-jaman dan pekerja gaji.

Pekerja jam-jaman yaitu pekerja yang dibayar berdasarkan jumlah jam yang si pekerja lakoni, ya biasanya pekerja buruhlah, seperti pegawai toko, pegawai bank,pegawai di rumah sakit, dll. Pekerja jam-an ini bisa pekerja paruh waktu, bisa juga pekerja penuh.

Karena sifatnya yang dibayar berdasarkan jumlah jam si pegawai bekerja, dari NOL jam hingga 40 jam (atau bisa lebih, tapi biasanya managemen perusahaan akan ‘ngomel’ kalau pegawai jam-jaman mereka lembur)- bayaran si pekerja ya bisa berbeda-beda setiap kali terima gaji.

Juga pekerja di haruskan mencatat saat mereka mulai kerja dan selesai kerja setiap harinya di timesheet.

Pekerja jam-jaman ini juga rentan terpotong jadwal kerjanya, terutama pekerja ritel. Kalau manager menilah penjualan pada hari itu tidak seperti yang diperkirakan, mereka harus segera memotong anggaran perusahaan yaitu dengan memotong jam kerja si pegawai yang dijadwalkan bekerja hari itu. Jadi kalau awalnya si pekerja di jadwalkan bekerja selama 4 jam, sangat mungkin kalau si pekerja yang ada cuma bekerja selama 2 jam saja.

Sementara pekerja gajian, yaitu mereka-mereka yang gajinya dihitung secara lumpsum per bulannya, dengan standar jam kerja 40 jam per minggu. Sepengetahuan saya pekerja gajian ini sebagian besar pekerja penuh, atau pekerja kontrak. Contohnya suami saya.

Sebagian besar pekerja jam-an menerima gaji setiap minggu atau setiap dua minggu sekali. Sedangkan pekerja gaji, sebagian besar di bayar setiap dua minggu sekali atau 2 kali sebulan : di awal bulan dan di tengah bulan (tanggal 15).

Saya ini termasuk pekerja buruh, alias pekerja yang dibayar per jam, gaji dibayar oleh perusahaan setiap 2 minggu sekali. Tapi karena saya bekerja di dua tempat, saya jadinya terima bayaran setiap minggu, karena jadwal terima gaji saya yang satu dengan yang lain berselisihan.

Ada enak dan tidak enaknya jadi pekerja jam-jaman.

Yang paling tidak enak itu kalau lupa masukkan waktu kerja (clock in dan clock out) dan kelewat tenggat waktu perhitungan gaji. Kenapa? Karena beberapa perusahaan sangat ketat dalam hal pembayaran gaji ini, kalau sudah lewat tenggat masukkan timesheet ya terpaksa kamu dibayar apa adanya, kekurangan jam kerja akan dibayar di gaji berikutnya.

Contohnya saya.

Waktu mau mudik kemarin, saya pikir waktu saya balik saya tetap akan terima gaji cukuplah, karena meskipun saya tidak kerja, saya sudah punya jatah liburan, yang jumlah jam libur per mingggunya boleh dibilanag sama dengan jumlah jam kerja saya kerja.

Saya pikir lagi, karena saya pekerja paruh waktu, manager saya yang harus memasukkan jumlah jam libur saya ke timesheet saya – karena kalau ada libur di kalender, manager saya yang memang harus memasukkan libur kalender itu di timesheet saya supaya saya dibayar.

Waktu kembali ke tempat kerja setelah mudik, saya panik melihat jumlah kerja saya cuma seuncril dan ternyata jam liburan saya tidak tercatat. Ternyata saya salah asumsi, sayalah yang harus memasukkan jam libur saya ke timesheet, bukan manager.

Yaaaaah….apa daya, terpaksalah saya gigit jari selama lebih dari 2 minggu!

Hadweeeh, asli sengsara, karena berarti saya tidak bisa membayar tagihan ini itu seperti yang sudah saya jadwalkan.

Untunglah cuma saya yang pergi berlibur dan suami tidak ikutan, karena berarti kita  masih ada penghasilan dari suami yang bisa bantu untuk hidup sehari-hari…………..

Phew!!??!!

Tradisi Amerika Yang Tidak Saya Lakoni : Tetap Menggunakan Nama Gadis

Sampai saat ini Saya belum ganti pemberian orang tua saya. Nama hukum saya masih seperti dulu. Meskipun tidak bohong kalau telinga ini ‘sakit’ setiap mendengar nama depan saya di ucapkan orang Amerika, tapi nama komplit saya belum berubah.

Kalau tho saya mau ubah nama saya, saya sudah punya nama ‘Amerika’ – yaitu nama saya yang lebih mudah diucapkan lidah bule plus nama suami – yang saya ‘ciptakan’ lebih karena alasan lebih mudah di gunakan dan diucapkan sehari-hari , dan saya pakai untuk keperluan tidak penting : email gaul, blog, sosial media, dll. Nama beken atau nama panggung istilah selebritinya. winking-smiley-face-clip-art-Smiley-Face-Clip-Art2

Alasan saya belum mau ganti nama secara  hukum, ada dua : malas urus berkas-berkas untuk ubah nama dan sentimen pribadi dimana saya merasa nama saya adalah identitas saya sebagai individu, saya sebagai pribadi yang lepas dari bayang-bayang suami dan juga ini adalah pemberian orang tua saya – mereka pilih nama saya dengan pertimbangan sebaik-baiknya. Saya koq ngerasa kurang ‘sreg’ mau mengubahnya kalau cuma semata-mata karena pernikahan.

Lagipula saya merasa janggal menggunakan nama belakang turunan Irlandia dari suami, wong muka wedok’ gini nama berbau Irlandia, kurang cocok deh ah.

Sebetulnya hal begini biasa di Indonesia, tradisi kita tidak ada ‘keharusan’ mengganti nama setelah menikah, tapi di Amerika ini, sebagian besar masih mengikut tradisi mengambil nama suami setelah menikah.

Teman-teman bule rata-rata usil nanya kenapa koq saya tidak ambil nama suami, malah sering mereka pikir kalau saya cuma hidup bersama dengan suami dan bukan menikah karena nama saya beda dengan nama suami. Lucu ya.

Ya tidak apa-apa, seperti kata pepatah

anjing-gonggong-dan-kafilah-berlalu