ngalor ngidul

Cerita Suka Duka Saya Sebagai Kurir Shipt

Haloooo teman2…sudah lama ya gak nulis..maklum lagi so sibuk…ceile..padahal banyak juga yang mau saya ceritain…

Salah satunya suka duka nge Shipt. Saya cerita kan ya kalau saya ambil kerjaan sampingan sebagai kurir belanja.

Nah..Saya sudah dikategorikan “veteran” loh, karena sudah ambil 50 order…

Kemarin pas saya masuk ke 30 order saya dapat hadiah dari Shipt…2 Kaos dan satu cooler bag. Seneng? Ya seneng aja, karena kan tasnya kepake banget, meskipun saya nanti sudah gak kerja di Shipt lagi.

Kemaren sempet saya di tanya sama temen kerja saya di tempat kerja kedua.

“Kamu nerusin kerjaan kurir kamu?”

Memang sering sik, saya ditanya ngapain sik kerja sampai 3 kerjaan?

Ih..gak oke banget ya kerja jadi “pembantu” orang lain. Gengsi

Ya gak apa2 sik..setiap orang kan boleh punya opini lah.

Buat saya kerjaan Shipt ini bikin saya grounded. (Well balance, sensible). Apa ya? Tahu diri. Sadar diri. Diingatkan biar gak blagu. Diingatkan akan kuasa Yang Maha Kuasa. Diingatkan biar gak lupa diri.

Misalnya ni..Ada satu waktu yang saya sudah ngoyo banget ambil orderan…masih juga gak dapat kena target yang saya mau..($150 per minggu). Sediiihhh banget..karena hari sudah larut malam, maunya sik saya gak amb order lagi..mana hari itu hari terakhir sebelum masuk minggu baru). Setelah saya nelongso karena gak kena target…

Beberapa jam sesudahnya, ternyata ada orderan yang kasih saya tip…jadilah bayaran saya di atas $150 seperti yang saya harapkan…❤❤❤

Atau hari ini saya papasan sama Shipt lain, saya tahu karena si mbak pake kaos berlogo perusahaan. Saya tegur kan. Hi! Saya juga kurir Shipt!

Aduh..si mbak cantiiiikkkk banget. Dandan tapi gak songong gayanya. Dia malah cerita gimana dia lagi nguber bonus hari itu. Saya masih ternganga liat cantik nya si mbak…ternyata orang cantik kayak si mbak gak gengsi an ya kerja “cuma jadi kurir belanja”.

Dia cerita kalau dia biasanya belanja di daerah lain (di Indiana!), tapi karena ada bonus, dia rela ambil order di wilayah lain. Gila! Salut ih!

Atau pas saya antar belanjaan ke rumah manula…beliau untuk bergerak harus pakai walker. Dia minta saya bawa masuk belanjaan ke dalam rumahnya karena beliau akan susah naik turun tangga. Saya mah oke2 aja. Lalu beliau bilang. Maaf ya, anak saya ternyata pulang telat, dia jadi gak bisa belanja buat saya…

Saya yang langsung mikir almarhum orangtua saya yang saya gak sempet nolong apa2 saat mereka butuh bantuan. Ada terselip rasa senang knowing somehow I helped another person in need.

Atau saya jadi sering kali terharu biru sama kemurahan pelanggan yang memberi tip, terutama tip diatas $10. Karena saya pribadi ya itu gede ya. They have no idea how much it makes a difference for me.

Dan seperti juga 2 pekerjaan saya lainnya…Saya tetap sumringah loh kalau dapat shoutout seperti ini

Kesimpulannya?

Saya bersyukur banget jadi kurir Shipt.

Saya bersyukur sama ortu Saya gak diajarin gengsi. Ortu Saya gak pernah memandang jelek pekerjaan apapun, asal itu gak melanggar hukum

Gak nyangka juga kalau Covid, cuaca jelek bisa buka peluang cari uang tambahan.

Yuk, kerja Yuk!

Pemakaman Indo vs Amrik

Akhir-akhir ini timeline Facebook saya (sayangnya) diramaikan dengan berita kematian seseorang.

Ngomong-ngomong soal kematian, saya jadi pengen cerita tentang budaya pemakaman Indo dan Amrik.

Yang jelas saya paling canggung yang namanya menghadiri pemakaman
baik itu pas shalat jenazah, atau pelayanan di gereja, maupun saat di kuburan.

Canggung karena ya suasana pemakaman itu sendiri kan berarti ada orang yang meninggal ya? Secara umum mana ada gitu orang yang gembira menghadiri pemakaman?

Yang membuat bertambah canggung itu adalah interaksi dengan tamu-tamu lainnya.

Pemakaman seseorang adalah satu peristiwa ‘penting’ (sekali seumur hidup – harfiah!), dimana rekan-rekan, sanak saudara, teman-teman yang sudah sekian lama tidak bertemu, tiba-tiba berkumpul lagi untuk menghantarkan si jenazah ke perhentian abadinya, untuk ‘bertemu’ terakhir kalinya.

Nah…adegan bertemu teman-teman ataupun saudara-saudara yang sudah lama tidak berjumpa tentunya adalah ‘adegan’ yang membahagiakan!  Ibaratnya reuni lah.  Kalau dengar kata reuni kan , seru ya?

Tapi koq…reuni di acara pemakaman yang notabene peristiwa kurang mengenakkan.

Disitulah letak kecanggungan saya, mau bahagia melihat teman-teman/saudara-saudara yang sudah sekian lama tidak berjumpa atau sedih karena melihat keluarga yang ditinggalkan? 😦

Yang ada saya bawaannya mau cepat-cepat pulang, karena ya itu canggung.

Sejak hijrah ke Amrik, saya 2 kali menghadiri pemakaman, yang pertama di tahun 2010, saat adik suami meninggal dan yang kedua di tahun 2016 saat tante suami meninggal dunia.

Terus terang suasana pemakaman ala Amrik vs ala Indo beda banget.

Di Amrik itu boleh dibilang tabu memotret sana sini. Jangankan motret jenazah, motret tamu, memotret peti mati, taman pemakaman pun enggak! (jangan bandingin dengan film-film Hollywood yak! ini pemakaman rakyat biasa)

Inget banget waktu kami ke Minnesota untuk mengurus pemakaman adik suami, saya yang masih kebawa budaya Indo bawa kamera dong.

Pas mau motret, bareng keluarga adik suami yang lainnya saya sempat bingung koq mereka tidak ‘semangat’ ya? tapi ‘dongonya’ saya, saya tidak ngeh, jadi saya teuteup foto-foto sendiri.

Pas di gereja, saya bawa tuh kamera, pikir saya mau jadi seksi dokumentasi.  Mau motret jenazah di peti, eh yang ada suami melotot, hah? saya tanya, Lha kamu gak mau foto adikmu terakhir kalinya? NO. Jawabnya. Bingung.

Masih saya gatel mau motret memorabilia yang dipasang, dipelototin lagi. Pas ceramah dari pendeta selesai, ada pemain bagpipe ala Irlandia menghantarkan tamu-tamu keluar, saya dah keder tidak berani merekam dengan kamera. Padahal bagus banget prosesinya.

Selesai dari gereja, kami pergi ke rumah salah satu keluarga – boleh dibilang rumah duka lah,  disitu disediakan jamuan kecil untuk tamu-temu setelah pemakaman. Di situ ya pada ngobrol sih, cuma ngobrolnya santun sekali, suasana berkabung terasa banget.

Sekali lagi, tidak ada foto-fotoan!

Di hari penguburan, saya masih ngotot bawa kamera, tadinya mau ngerekam dari A sampai Z gitu….lagi-lagi tidak dibolehin sama suami. Jadilah saya ngedumel, tapi ya apa boleh buat, harus hormati permintaan suamilah, wong ini keluarga dia gitu kan.

Kedua kali acara pemakaman saya wis fasih, tidak bawa kamera sama sekali.  Tapi saya perhatikan apakah budaya tidak memotret memang budaya barat atau bawaan suami.  Tidak ada yang bawa kamera. (bawa telpon seluler berkamera ya hampir semua tamu, tapi tidak ada yang sibuk motret sana sini)

Waktu saya bilang ke suami kalau di budaya Indo, sudah biasa kita memotret si jenazah (dan memajang di media sosial!!), suami saya dengernya ibarat denger ada zombie jalan-jalan di mal.

Why? why would you want to take picture of the dead??? tanya nya.

Saya jawab sambil kebingungan juga…Well, now that I thought about it, I am not sure.  I guess we just want to capture the last image of the dead?

Is that weird?

Ha. Disini saya terbelah.

Di satu sisi, saya akui kalau budaya Indo ‘eksentrik’ dalam hal kematian, selain memotret jenazah, kita juga senang foto-foto (dan tidak jarang sambil cengengesan pula)- which you would never find in most American funerals in general.

Di sisi lain, kalau budaya Indo tidak ada potret memotret jenazah, kuburan dan lain-lain, saya tidak akan punya dokumentasi  disaat ayah saya dikuburkan  – yang buat saya adalah hal yang penting, karena saya tidak bisa menghadiri langsung prosesi pemakaman ayah (dan saudara-saudara ataupun rekan-rekan lainnya yang telah mendahului saya).

*menghela nafas* (nasib imgran pas-pasan)

Ah.

Sepertinya untuk hal ini saya adaptasi kedua budaya, budaya Indo dalam hal dokumentasi dan budaya Amrik dalam hal pembawaan diri.

Ashes to Ashes, Dust to Dust