Minggu, 18 Mei 2014

Hari ini hati ingin menangis. Sejak ke dokter hari Senin lalu kondisi tubuh belum terasa membaik. Kalau pertama-tama tenggorokan kanan yang terasa sakit dibuat menelan, sekarang gantian tenggorokan kiri yang meradang.

Inginnya diri ini istirahat seharian di hari Minggu, tapi tidak bisa. Cucian piring sudah menumpuk sejak hari Jumat lalu. Anak harus sarapan.

Mengandalkan pasangan untuk membantu urusan rumah tangga ibarat mengharapkan Indonesia bebas korupsi.

Jadilah Saya harus turun tangan membereskan cucian dan memasak untuk si Anak.

Sebentar lagi Saya harus berangkat kerja.

Lho koq kerja sih? katanya sakit? iya memang kondisi tubuh tidak 100% sehat, tapi tidak mampu jika tidak bekerja, karena artinya Saya kehilangan uang tambahan – yang sedang Saya picu untuk mendapat lebih untuk ongkos pulang menengok ibu yang sakit dan makam Ayah.

Minggu lalu Saya sudah kehilangan 11 jam kerja yang sama dengan kehilangan $100+. Untuk ukuran Saya uang sebanyak itu cukup besar. Saya tidak mampu kehilangan lebih banyak lagi…..

Apa mereka-mereka yang sibuk membicarakan mobil Saya, sekolah Saya; juga sibuk membicarakan kondisi sakit Saya?

Apa mereka-mereka lalu urun rembuk berusaha menolong Saya?

Tidak.

Ingin rasanya Saya berteriak kepada mereka.

Hey, kemana suara kalian ketika Saya sakit? Apa kalian pikirkan kondisi Saya?

Apa kalian tahu berapa ongkos dokter yang harus Saya bayar?

Atau mau membayar hari-hari dimana Saya absen dan tidak bisa bekerja?

Mereka pikir hidup di negeri orang itu selalu lebih enak.

Mereka pikir hidup di negeri orang itu tanpa kesusahan.

Tidak pernah ada yang langsung bertanya, semua hanya berani berasumsi, ‘menganalisa’ foto-foto dan status di media sosial. Tiba-tiba semua menjadi ahli analisa.

Kelelahan mental Saya akibat omongon mereka.

(sumber gambar : lintasanpelangi.blogspot.com/2011/11/mingkem.html)