Ketika Ayah Pergi Menghadap Sang Pencipta

Hari Kamis tanggal 15 April 2014 sekitar jam 3.30 waktu bagian timur Amerika, Saya sedang bekerja,  waktu telpon berdering.  Saya angkat, terdengar suara anak-anak di latar belakang, agak sulit mendengar si pembicara di seberang karena suara di sekitar tempat kerja. Setelah berhalo-halo beberapa saat, akhirnya Saya bisa mendengar si pembicara.

‘Hello, mm..May I speak to D**** Suri?’ – Iya ini Saya sendiri. Maaf ini dari siapa ya?

‘Mbak, ini Ks ‘ – ternyata sepupu Saya yang tinggal di negara bagian NY-detik itu juga hati ini tercekat, langsung Saya ‘tahu’ berita apa yang akan Saya dengar.

Siap-siap Saya kuatkan batin ini, Saya tanya langsung ‘Siapa Kis, gak apa2, kasih tahu saja’

‘Opa Awang, Mbak..Ayah Mbak udah meninggal. Maaf ya Mbak’

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Saya coba tahan air mata, Saya pikir Saya bisa kuatkan hati, karena 20 menit lagi Saya bisa pulang koq. Tenang, tenang kata Saya dalam hati. Tapi ternyata Saya tidak kuat…….segera setelah telpon Saya letakkan, keluarlah air mata ini….

Sambil terisak-isak Saya telpon Manager Saya dan Saya kabarkan berita yang baru Saya terima….

Tanpa menunggu Manager Saya datang ke ruang teller, Saya kabur ke ruang istirahat untuk menangis sedu sedan sendiri, tidak ada orang yang bisa Saya peluk.

Segera Saya telpon suami diantara tangisan Saya. ‘I am going home now‘ – kata Suami.

Pulang ke apartemen, Saya minta Suami supaya ajak anak Saya bermain di tempat teman, Saya tidak mau si kecil melihat Saya menangis, berduka. Helpless.

Meninggalnya anggota keluarga kita di saat kita di negara lain adalah salah satu hal yang tersulit bagi imigran seperti Saya.

Beberapa dari kita cukup beruntung untuk bisa langsung membeli tiket pesawat di hari berikutnya, malah mungkin di hari itu juga, sehingga bisa mengantar almarhum/almarhumah ke tempat peristirahatan terakhir.

Sayangnya Saya tidak seberuntung itu. Kendala finasial maupun non finansial terpaksa mengharuskan Saya untuk merelakan kepergian Ayah dari jauh.

Ini kenyataan pahit dan menyakitkan yang harus Saya (dan Saya yakin  banyak teman-teman imigran lainnya mengalami hal yang serupa dengan Saya) hadapi.

Saya boleh dibilang masih beruntung karena memiliki teman-teman baik yang langsung berangkat ke rumah duka setelah Saya telpon lewat Skype hari itu juga. Dari lensa kamera teman baik Saya, Saya bisa ‘melihat’ Ayah dimakamkan.

Saya masih beruntung karena memiliki banyak sekali teman-teman di sosial media yang mengucapkan doa atas kepergian Ayah. Masih beruntung karena ada teman-teman di sini yang bersedia mengaji untuk Ayah.

Banyak ‘andai, andai’ berkecamuk di kepala Saya.

Andai ada dermawan yang mau membelikan tiket untuk Saya pulang.

Andai Saya seperti si X yang bisa pulang setiap tahun.

Andai…Andai….Andai…..

Pada akhirnya seribu andai-andai tidak akan merubah apapun tentang kondisi Saya. Saya harus merelakan kepergian Ayah. Merelakan ketidakberdayaan Saya.

Cercaan, cemoohan, cibiran orang-orang akan ketidakberadaan Saya di saat-saat seperti ini adalah resiko.

Selamat jalan Ayahku.

Maafkan segala kesalahan Saya. Cuma doa yang Saya bisa berikan untuk Ayah.

Untuk teman-teman imigran yang senasib seperti Saya, tabahkan hati, kenyataan memang tidak selalu mengenakkan.

Untuk teman-teman imigran yang lebih beruntung, bersyukurlah,  karena mengantarkan orang tua kita ke tempat peristirahatan terakhir itu adalah kehormatan’………………………..

 

mydadnme

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s