Mencari segenggam dolar di tangan….(ternyata tidak mudah)

Sewaktu Saya tinggal di Jakarta, wah, Saya mah termasuk ‘orang keren’ deh..(ha…ha…ha..nyombong dikit boleh dong..)

Kerja di gedung pencakar langit, di kawasan Segitiga Emas -Sudirman-Kuningan-Thamrin, berbincang-bincang dalam bahasa Inggris, wara-wiri dengan mobil sendiri, menghabiskan waktu di mal setelah pulang kerja atau di akhir pekan sih langganan.

Mencari pekerjaan? berbekal ijazah SI teknik dari universitas beken di Jakarta, Saya PD saja, tidak pernah merasa kesulitan atau kelelahan dalam mencari pekerjaan.

Terus terang kalau boleh memilih Saya mah ogah bekerja lagi. Sejak lulus kuliah 1997 hingga 2005, cukuplah kiranya Saya bekerja, maunya sih merawat anak saja dan well…belanja(in) uang suami….ha….ha….ha..

Tapi ternyata Tuhan mentakdirkan lain…

Tahun pertama Saya tinggal di Amrik, Saya cukup beruntung bisa langsung bekerja setelah hanya 6 bulan menganggur. Si bos tempat Saya kerja pertama kali pernah berkunjung ke Indonesia (Jogjakarta), jadilah dia merasa klop untuk mempekerjakan Saya.

Saya hanya bekerja selama 3 bulan dikarenakan Saya melahirkan anak pertama Saya.
Setelah anak berumur 1.5 tahunan lebih iseng-iseng melamar jadi pramuniaga di department store di kota setempat, ternyata di terima.

Terus terang waktu Saya bekerja ini Saya tidak mengandalkan pekerjaan Saya ini jadi tulang punggung keluarga, lebih buat ke uang ‘hura-hura’ istilahnya. Tapi waktu Suami kena pemecatan, pekerjaan ini amat sangat membantu situasi keluarga Kami.

Nah..waktu suami menganggur, Saya coba melamar ke sana ke mari. Astaga! Disitulah Saya baru menyadari betapa sulitnya mencari pekerjaan ‘kantoran’ untuk Saya.

Saya masih berusaha menutupi kenyataan dan menganggap kalau ini cuma masalah situasi tempat Saya berdomisili , termasuk kkota kecil dan kurang beragam. Tapi sewaktu Saya pindah ke Cleveland yang notabene kota (cukup) besar, berlembar-lembar surat lamaran Saya kirim ke berbagai perusahaan, hasilnya NIL.

Ijazah SI Sarjana Teknik Indonesia tidak berarti apa-apa disini.

Jam terbang Saya selama kerja di Jakarta seakan-akan menjadi NIL kembali.

Fakta kalau Saya bekerja di perusahaan Amrika (yang harusnya kudu ternama lah), tidak membantu apa-apa.

Ditambah lagi memang Saya bukan individu yang sangat pintar ya seperti kakak Saya, sepupu Saya dan teman-teman lain yang sempat mengenyam pendidikan di universitas di Amerika.

Status Saya disini sama dengan lulusan SMA-nya Amrik.

Sadis euy.

Terus terang agak sulit Saya menerima kenyataan ini.

Apa kata saudara dan teman-teman kalau tahu Saya hanya sanggup bekerja sebagai mbak-mbak pelayan toko???

Well.

Ini kesimpulan Saya :

1. Bekerja itu rejeki, selama tidak nyolong, tidak ngibulin orang, di dapat dengan jalan ‘halal’ (bukan dibawah tangan istilahnya) dijalani dan disyukurilah. Orang -orang di sekitar mau mencela..ya monggo..

2. Ternyata memiliki latar belakang pendidikan di Amrika sangat membantu untuk mendapat pekerjaan ‘kantoran’ di sini
meskipun itu ‘cuma’ community college.

3. Situ termasuk beruntung karena tidak perlu bekerja? ya syukur, tidak perlu membanding-bandingkan pekerjaan suami dengan pasangan lain.

One comment

  1. Wow…really love your post !! Pengalaman saya pribadi waktu sampe di Amrik tahun 2001 dan harus kerja apa saja untuk penyambung hidup keluarga di Indo, Medan tepatnya. Tapi melalui itu semua Tuhan ajarkan untuk lebih rendah hati dan bersyukur. Counting my blessings !!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s