Tiga tahun pertama Saya tinggal di Amerika, terus terang Saya terlena. Suami kerja berpenghasilan cukup untuk kami bertiga. Tahun pertama Saya pindah, Saya langsung mendapat kerja ‘kantoran’. Gaji $9 per jam buat Saya sih cukup saja, tidak ada rasa perlu menambah wawasan.
Lalu kami sekeluarga pindah ke negara bagian lain. Pikir Saya , sip, disini lebih banyak jenis pekerjaan, kota lebih besar, pastinya banyak dong lowongan pekerjaan dan Saya PD kalau Saya bisa dapat kerja ‘lebih baik’ dibanding pramuniaga toko.
Setelah settling down setelah pindahan, semangatlah Saya mengirim lamaran. Saya ogah lamar jadi pramuniaga lagi, kata Saya, masa sih jadi pramuniaga terus, ini kan di kota besar. Jadilah Saya lamar ke tempat lain. Satu, dua, tiga, empat, dan seterusnya. Berlembar-lembar lamaran Saya kirim tidak ada SATUPUN yang nyangkut. Mulailah Saya panik….. heh?
Setelah daftar lamaran Saya hampir satu halaman penuh, Saya mengalah, Saya putuskan untuk melamar kembali jadi pramuniaga di tempat yang sama. Dipanggil untuk wawancara – senang nya! tapi……………….setelah itu NIL. Tidak ada kabar sama sekali??!!
Not even for holiday helpers???!!
Celingak celinguk Saya perhatikan teman-teman Indonesia yang punya pekerjaan bagus, mereka semua mengenyam pendidikan di Amerika.
Ah….pahitnya kenyataan. Barulah Saya menyadari kalau Saya tidak memiliki modal apapun. Tidak ada pendidikan Amerika. Bahasa Inggris Saya pas-pasan, hanya bahasa Inggris percakapan sehari-hari, bukan bahasa Inggris akademik…………..
Dari kepindahan Saya ke Ohio, terbukalah mata Saya. Saya tidak bisa lagi mengandalkan suami semata-mata. Mengandalkan ‘keberuntungan’. Persaingan dalam mencari pekerjaan semakin ketat setiap tahunnya. 20 tahun yang lalu, berbekal ijazah SMA cukup untuk mendapat kerja, sekarang?
Sayangnya Saya melewatkan kesempatan bersekolah ketika di Ohio. Nah setelah Saya pindah ke Kentucky, salah satu hal yang langsung Saya cari itu adalah keberadaan Community College ataupun kursus-kursus lainnya.
Untuk bekal di hari esok.